Tuesday, September 13, 2011

Lokananta


Sekilas Tentang LOKANANTA 1956-1972
               

Dalam konteks budaya, lagu-lagu nasional dan daerah merupakan aset daerah dan negara. Pada tahun 1950-an, Pemerintah Indonesia mengabadikan lagu-lagu tersebut melalui media rekaman yaitu piringan hitam. Perusahaan milik pemerintah yang memproduksi rekaman piringan hitam tersebut adalah Lokananta di Surakarta.
Sebenarnya Lokananta adalah nama yang lebih akrab pada masa piringan hitam (1950-1970-an). Perusahaan piringan hitam yang juga sebagai label rekaman ini banyak melahirkan musisi-musisi legendaris Indonesia yang terkenal, seperti Zaenal Arifin, Gesang, Bing Slamet, Titiek Puspa, Waldjinah, Sam Saimun, Nina Kirana, Masnun, dan Theresa Zen. Selain itu, banyak tokoh maupun musisi pentatonis yang besar namanya di Lokananta, seperti Tuty Daulay, Lily Suheiry, Titim Fatimah, Upit Sarimanah, R. Ng. Tjokrowasito, Ki Nartosabdho, dan Mang Koko. Berikut adalah sekilas tentang keberadaan Lokananta ketika memproduksi rekaman piringan hitam.


Keterangan: Bangunan di lihat dari tengah-belakang, keterangan dari beberapa karyawan Lokananta  menyebutkan rupa pendopo tersebut tidak berubah sejak tahun 1956 dan terkadang digunakan untuk kesenian klenengan (gending), kemudian yang dilingkari adalah gedung yang sering digunakan untuk kesenian dan rekaman suara; sekarang (2011) tidak difungsikan.


Pabrik Piringan Hitam Lokananta
Direktur Jenderal RRI Jakarta R. Maladi beserta Kepala Studio RRI Surakarta R. Oetojo Soemowidjojo, dan Kepala Teknik Produksi RRI Surakarta R. Ngabehi Soegoto Soerjodipoero pada tahun 1950 memiliki rencana untuk memenuhi kebutuhan siaran radio dengan mendirikan pabrik piringan hitam. Ide tersebut muncul terkait dari perbincangan mengenai masalah teknik siaran RRI dalam konferensi RRI, khususnya mengenai kebutuhan setiap studio RRI terhadap kelengkapan piringan hitam.
Empat tahun kemudian, pabrik piringan hitam akhirnya dibangun di Surakarta di atas tanah seluas 2,5 ha, dengan peletakan batu pertama pada tanggal 3 Juli. Alasan R. Maladi memilih Surakarta karena ketika itu Surakarta dikenal dengan nama Surakarta Hadiningrat sebagai salah satu kota sumber kebudayaan Jawa yang dianggap dapat menunjang kebudayaan nasional menurut pemerintah. Terdapat pula pusat kebudayaan Jawa yang masih hidup di Surakarta yaitu Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Istana (Pura) Mangkunegaran (Muhadi ; Suwarto, 2001). Sehubungan itu, tujuan dibangunnya pabrik piringan hitam di Surakarta adalah: (a) membangun diskotik studio RRI yang baik dan untuk memenuhi kebutuhan akan kelengkapan piringan hitam; (b) memperkembangkan kebudayaan nasional dalam bidang musik; (c) memperkenalkan dan mempopulerkan lagu-lagu dari seluruh Indonesia agar saling mengenal kesenian antardaerah (Selecta, 1961, No. 119:16). Setahun kemudian, dibuat tempat cetakan pertama dan kemudian mencetak piringan hitam pertama. Pada bulan Desember, sudah berhasil mencetak piringan hitam yang sempurna sebagai piringan hitam diskotik dengan label 'Indra-vox'.
R. Maladi bersama yang lainnya sepakat untuk menamakan pabrik tersebut dengan nama Lokananta. Nama Lokananta dipilih berdasarkan legenda di masyarakat Jawa yang berasal dari kisah pewayangan yang menurut legenda adalah nama seperangkat alat gamelan yang hanya ada di Kahyangan istana para dewa dan disebut Suralaya, gamelan tersebut diciptakan oleh Dewa Bathara Guru, dan gamelan tersebut dapat berbunyi melantunkan nada-nada indah dengan suara merdu, sekalipun tanpa penabuh atau tanpa ditabuh.
Tahun 1956, R. Maladi mengusulkan kepada Presiden Soekarno tentang peresmian pabrik piringan hitam. Usulannya pun diterima olehnya. Kemudian, tanggal 29 Oktober tepatnya jam 10.00 WITA, pabrik piringan hitam di Jalan Jenderal Ahmad Yani nomor 379 Surakarta diresmikan oleh Menteri Penerangan Republik Indonesia Soedibyo dengan nama "Pabrik Piringan Hitam Lokananta, Jawatan Radio Kementerian Penerangan Republik Indonesia". Ketika itu, R. Oetojo Soemowidjojo dipilih sebagai Direktur Lokananta sementara itu R. Ngabehi Soegoto Soerjodipoero sebagai kepala bagian teknik Lokananta.
Pabrik piringan hitam Lokananta berdiri di bawah Departemen Penerangan dengan status Dinas Transkripsi sebagai Unit Pelaksana Teknik Jawatan RRI, dengan tugas utama yaitu memproduksi dan menggandakan (duplikasi) piringan hitam yang kemudian disebarkan untuk bahan siaran 27 studio RRI seluruh Indonesia sebagai Transcription Service (non komersial). Berhubungan dengan itu semua, berdirinya pabrik piringan hitam adalah salah satu langkah yang cukup berani, hal tersebut tampak dalam pernyataan R. Oetojo Soemowidjojo:

“...Hanja dengan modal keberanian jang memungkinkan pabrik ini berdiri. Tjobalah sdr. perhatikan, pekerdjaan ini sebelumnja tidak kami kenal, djadi merupakan sesuatu jang baru samasekali. Instalasi-instalasi diselenggarakan oleh tenaga-tenaga sendiri dengan beladjar dari buku-buku. Tak seorangpun jang pernah beladjar di Luar Negeri.”
(Dharma, 1961:16).

Secara garis besar, ada dua jenis kelompok musik yang diproduksi oleh Lokananta yaitu musik nasional dan musik daerah (diatatonis maupun pentatonis). Pada sisi lain, musik nasional terus diperdebatkan identitasnya oleh beberapa pihak di bidang musik.
         Memasuki tahun 1958, Lokananta melakukan perubahan nama label dengan istilah penggantian, maksudnya piringan hitam yang diproduksi sudah tidak memakai label Indra-vox (label awal yang digunakan RRI) tetapi sudah menggunakan cap dengan nama sendiri, yaitu label Lokananta (Yampolsky, 1987:1). Philip Yampolsky juga menjelaskan bahwa kedua-duanya (label) dikendalikan oleh RRI dan secara administratif terpisah.
Awalnya rekaman piringan hitam hanya diedarkan untuk bahan siaran RRI, kemudian mulai tanggal 14 April 1958 Lokananta mencoba mengedarkannya kepada umum. Lalu, berdasarkan Keputusan Menteri Penerangan RI mulai 1 April 1959 piringan hitam dengan label Lokananta akhirnya benar-benar dijual untuk umum. Pemasaran disalurkan melalui Pusat Koperasi Angkasawan RRI Jakarta, didistribusikan ke seluruh Koperasi Angkasawan Studio di Indonesia. Hingga pertengahan 1961, musik yang dipopulerkan oleh Lokananta antara lain yaitu lagu perjuangan, keroncong, hiburan (umum), seriosa, klasik (instrumen), dan lagu-lagu daerah dari Sumatera Barat, Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Flores.

Keterangan: Gambar pertama adalah Direktur P.N. Lokananta Utojo Sumowidjojo berdiri diantara matrys dan piringan-piringan hitam pertama yang dihasilkan Lokananta, gambar kedua adalah R. Ngabehi Soegoto Soerjodipoero tengah meneliti pita-pita suara yang siap dijadikan piringan hitam.


Keterangan: Gambar proses pembuatan piringan hitam pada awal 1960-an.
                    Sekitar 60-an pegawai-bagian produksi mampu menghasilkan 1000 PH sehari.




Seri dan Format Piringan Hitam
Seri piringan hitam yang pernah digunakan oleh Lokananta antara lain: seri AIH, AIN, & AD dengan format 10”, 78 rpm; seri ALD, ARD, ARI, & DN dengan format 10”, 33 1/3 (24 menit); seri CRE dengan format 7”, 33 1/3 (12 menit); dan seri BRD, BRI dengan format 12”, 33 1/3 (48 menit).                           Format yang paling banyak digunakan oleh Lokananta adalah seri ARI dengan format 10”, 33 1/3 dengan menggunakan dua side atau lebih (Yampolsky, 1987: 57-90). Maksud dari ukuran rpm (rotation per minute) piringan hitam tersebut adalah setiap menit piringan hitam berputar sebanyak angka yang menjadi ukuranya dan semakin besar diameter platnya, semakin kecil ukuran untuk memutarnya. Berikut adalah contoh PH format 45 rpm, 78 rpm, dan 33 1/3 rpm:
Keterangan : contoh format 78 rpm
Keterangan : Contoh format 45 rpm dan 33 1/3 rpm (Long Play)


PN Lokananta
Masa awal Lokananta sebagai Dinas Transkripsi, piringan hitam yang telah digandakan dan telah siap diedarkan ke setiap stasiun RRI tidak untuk diperjual-belikan untuk umum. Piringan hitam hasil produksi Lokananta hanya digunakan sebagai arsip untuk RRI dan kalangan Kementerian Penerangan saja.
Melihat adanya tawaran bagus dari pasar, berdasarkan Keputusan Menteri Penerangan R.I mulai tanggal 1 April 1959 piringan hitam dengan label Lokananta akhirnya benar-benar dibuka atau dijual untuk umum (for sale). Pemasaran disalurkan melalui Pusat Koperasi Angkasawan RRI Jakarta didistribusikan ke seluruh Koperasi Angkasawan Studio di Indonesia. Berhubungan dengan itu, sebagai Unit Pelaksana Teknik Jawatan RRI, kebijakan apapun yang terjadi di dalam Lokananta tetap di bawah kontrol RRI (Yampolsky, 1987: 2).
Menyangkut potensi piringan hitam yang komersil, berdasarkan PP No. 215 tahun 1961 status Lokananta berubah menjadi "Perusahaan Negara Lokananta" (PN Lokananta). Sehubungan dengan itu, status Lokananta sebagai Teknik Jawatan RRI ikut dilepaskan.
Dalam sebuah sudut pandang, pada masa-masa tersebut musik yang diproduksi Lokananta telah diarahkan untuk kepentingan politik negaraAda tiga tanggung jawab yang dibebankan Lokananta berdasarkan PP No. 215 Tahun 1961 adalah: untuk mendorong, melestarikan, dan menyebarkan seni nasional; bekerjasama dengan pemerintah luar dalam bidang musik, khususnya terkait dalam hal rekaman; dan juga untuk menghasilkan pendapatan bagi negara. Pendapatan atau devisa negara bisa dihasilkan melalui ekspor--sebagian dari produksi piringan hitam (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 2300, 1961 ; Muhadi, 2005?).
Sebagai Perusahaan milik Negara, Pemerintah Indonesia memiliki keharusan untuk “menyumbangkan” dana terhadap Lokananta. Dana tersebut bisa digunakan untuk keperluan teknis atau non-teknis, seperti untuk gaji para pegawai Lokananta, biaya alat-alat produksi, untuk keperluan teknis lainnya yang berhubungan dengan industri rekaman piringan hitam.
RRI bersama Lokananta berupaya untuk memproduksi musik yang sesuai dengan batasan-batasan dari pemerintah (Soekarno). RRI memiliki pendirian bahwa musik-musik yang disiarkan harus berupa hiburan sehat dan membangun. Dengan itu, RRI berupaya untuk menyajikan siaran-siaran musik hasil karya pemusik Indonesia dengan alasan bahwa sudah suatu keharusan ditanamkannya pengertian dan penghargaan terhadap musik Indonesia. Selain itu, RRI juga menyatakan bahwa musik yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa dinyatakan sebagai jenis musik yang akan membawa pengaruh yang buruk bagi pertumbuhan kepribadian bangsa dan sangat merugikan perkembangan musik Indonesia (Selecta, 1963, No.154). Sisi lain, ketika itu Lokananta tidak memproduksi lagu-lagu dengan lirik bahasa asing.


Rekaman Kenegaraan
Beberapa peristiwa kenegaraan berhasil diabadikan melalui rekaman piringan hitam. Rekaman-rekaman tersebut sempat disimpan di Lokananta, diantaranya: rekaman pidato Presiden Soekarno saat pembukaan KTT Nonblok Pertama pada tahun 1955 di Bandung; rekaman Pidato Presiden Rajendra Pasad (India) pada tanggal 18 Desember 1958 dalam pertemuan di Istana Merdeka; rekaman pidato singkat Presiden Joseph Broz Tito pada tanggal 23 Desember 1958 ketika datang di Pelabuhan Tanjung Priok; rekaman pembicaraan Presiden Soekarno dan Presiden Vietnam Ho Chi Minh pada tanggal 8 Maret 1959 di Bandara Kemayoran sebelum meninggalkan Indonesia; dan rekaman pidato Presiden Soekarno dalam Pembukaan Pertemuan Solidaritas Bangsa Asia-Afrika pada 10 April 1961.



Keterangan: Cover PH: Sovenir Asian Games, 1962: Sisi I







Keterangan: Cover PH: Rekaman Pidato Kenegaraan Presiden RI Soekarno, 1963
(Pembukaan Konperensi I Asia-Afrika, 24 April 1963)
Pidato-pidato kenegaraan maupun dialog-dialog dari tamu-tamu negara tersebut adalah hasil liputan dan bahan-bahan siaran RRI yang direkam dan diberikan ke Lokananta untuk digandakan serta didokumentasikan sebagai bukti sejarah. RRI sendiri tidak merekam setiap peristiwa penting seperti pidato-pidato kenegaraan, hanya beberapa saja yang direkam dan diberikan kepada pihak Lokananta (Wawancara dengan Sekretaris Perum PNRI Lokananta Titi Sugiarti, 4 Januari 2010).

Keterangan: Salah satu pemilik rekaman awal lagu Indonesia Raja adalah Yo Kim Tjan, liriknya pun sempat dipublikasikan oleh majalah Sinpo tahun 1928. Lagu Indonesia Raya ini adalah hasil tambahan (gubahan) pada aransemen sekitar tahun 1950-an oleh komposer Jos Cleber asal Belanda, atas permintaan (instruksi) dari Presiden Indonesia Soekarno, tapi tidak mengubah lirik aslinya (WR. Supratman) yang mana sebelumnya sempat diubah oleh Jepang (nippon) ketika menduduki Indonesia. Ketika itu, lagu ini kemudian diabadikan kedalam piringan hitam yang dicetak oleh perusahaan (pabrik) piringan hitam Lokananta. Selain itu Soekarno juga membuat rencana undang-undang tentang lagu kebangsaan Indonesia.


Rekaman Diatonis dan Pentatonis
Tercatat sudah ribuan lagu yang diproduksi oleh Lokananta, yang mana master rekaman sebagian besar berasal dari stasiun-stasiun RRI yang dibawa ke Lokananta untuk digandakan. Umumnya ada tiga tempat rekaman lagu piringan hitam Lokananta, yaitu studio-studio RRI, studio-studio lokal, dan ada yang direkam di tempat dimana pertunjukan kesenian daerah sedang berlangsung. Adapun daerah-daerah yang sering dijadikan sebagai tempat berlangsungnya rekaman antara lain: Jakarta, Surakarta, Semarang, Yogyakarta, Bandung, Medan, Surabaya, Denpasar, dan Bukit Tinggi.
Rata-rata artis yang terkenal adalah berasal dari RRI itu sendiri, yaitu ada artis yang terlebih dahulu sudah tergabung dalam orkes-orkes studio RRI dan ada juga artis yang sebelumnya pernah menjadi peserta dan juara atas beberapa festival musik yang diselenggarakan oleh RRI, seperti beberapa juara dari Acara Pemilihan Bintang Radio (RRI) kemudian ditawar oleh RRI untuk melakukan rekaman bersama orkes-orkes studio RRI dengan label Lokananta (Wawancara dengan Yusuf, 28 Mei 2011).











Bulan November 1960, Lokananta memproduksi musik jazz yaitu milik Bubi Chen bersama Jack Lemmers (Jack Lesmana) melalui Kwartet Bubi Chen. Rekaman dilakukan selama dua kali di Surabaya, yaitu: tanggal 1 November 1960 dengan lagu Hampa, Kenangan Mesra, Merindu, dan Semalam; dan 2 November 1960 dengan lagu Sri Ayuda, Buaian Asmara, Layang-Layang, dan Kasih Aku S’lalu Di Sampingmu. Rekaman jazz tersebut dalam LP album Lokananta seri ARI 083 dikatagorikan sebagai musik hiburan. Dalam genre musik tersebut, musik jazz tidak dilarang oleh Presiden Soekarno (Sylado, 1991: th).
Musik daerah yang diproduksi oleh Lokananta terbagi ke dalam dua bentuk, yaitu jenis hiburan daerah (diatonis) dan tradisional (pentatonis). Musik hiburan daerah menggunakan ansambel Barat tetapi mengacu pada melodi tradisional masing-masing daerah dan lirik lagu menggunakan bahasa daerah (Yampolsky, 1987: 42). 
Pada tahun 1960-an (saya belum menemukan kepastian tahun) Lokananta membangun studio sendiri untuk suatu proses rekaman. Tabel berikut adalah beberapa album rekaman yang secara langsung prosesnya dilakukan di studio Lokananta, Surakarta:


Rekaman di Studio Lokananta
(1964-1971)
Rekaman
Nama
Genre
Tahun 1964
22 Maret (3 lagu)
2 April (4 lagu)
3 April (3 lagu)
Band Remadja Bahana
dbp. M. Busthanim
voc: Trio (Matheus Waso Dako, Moh. Darsono, dan  Bob Marthan Waso Dako)
Hiburan
Tahun 1964
27-29 Mei (+)
30 Mei (5 lagu)
31 Mei (3 lagu)
Orkes Krontjong All Electric Jus Mardiat Dkk.
voc: Dewi, Hadi Djokosuwarno, Ismanto, Leby, dan Suprapti

Langgam Keroncong (K.Baru)
Tahun 1964
16 Juni (+)
18,19 Juni (6 lagu)
23 Juni (1 lagu)
26 Juni (1 lagu)
Band Jusapan K
voc: Harijadi Sadono dan Tenny Gabeler
Hiburan
Tahun 1965
14,15,18 Jan (+)
19 Jan (3 lagu)
20,21 Jan (5 lagu)
21 Jan (1 lagu)
Irama Krontjong Jusapan K. Dkk
voc: Djum, Leby, dan Walujo


Keroncong
Tahun 1965
5 Juli (+)
6 Juli (2 lagu)
7 Juli (4 lagu)
8 Juli (2 lagu)
Orkes Krontjong Tjendrawasih
dbp. S. Padimin
voc:  A. M. Jahja, Kustiati, M. S. Hudi, Sutjiati, dan Supardi Achijat
Keroncong dan Stambul
Tahun 1966
15 Februari (4 lagu)
16 Februari (4 lagu)
Orkes Krontjong Tjempaka Putih
dbp. Slameto
vokal: Ratmanto, S. Bekti, dan Waldjinah
Langgam Jawa
Tahun 1967
19 Jan (?) (2 lagu)
20 Jan (?) (2 lagu)
21 Jan (?) (2 lagu)
23 Jan (?) (2 lagu)
Band Hasta Nada Kodamar VIII
dbp. Hasta Tunggal
voc: Christine
Hiburan
Tahun 1967
24 Mei (4 lagu)

Orkes Krontjong Bintang
dbp. Waldjinah Budi
vokal: S. Bekti, S. Harti, dan Waldjinah
Langgam Jawa
Tahun 1967
19 November
(1 lagu*)
A. Hapip Maksum
voc: A. Hapip Maksum
Pengajian
Tahun 1968
12 Februari (1 lagu*)
13 Februari (4 lagu*)
14 Februari (1 lagu*)
H. Abdul Aziez Muslim
voc: H. Abdul Aziez Muslim
Pengajian
Tahun 1968
26 Maret (3 lagu*)
27 Maret (1 lagu*)
28 Maret (1 lagu*)
Sjamsuri Arsad & Ustadz Gazali Rahman
voc: Sjamsuri Arsad & Ustadz Gazali Rahman
Pengajian
Tahun 1968
17 Juni (1 lagu)
18 Juni (3 lagu)
19 Juni (2 lagu)
Orkes Krontjong Bintang
dbp. Budi Sajuti
vokal: Waldjinah
Langgam Jawa
Tahun 1969
23 Maret (musiktrack)
30,31 Maret (5 lagu)
1 April (3 lagu)
Zaenal Combo
dbp. Zaenal Arifin
voc: Jetti dan Roosdiana
Melayu
Tahun 1970
7 Januari (4 lagu)
8 Januari (3 lagu)
Orkes Krontjong Bintang Surakarta
dbp. Waldjinah Budi
vokal: Waldjinah
Langgam Jawa
Tahun 1970
6 Mei (3 lagu)
7 Mei (6 lagu)
8 Mei (6 lagu)
Orkes Bintang Surakarta
dbp. Waldjinah Budi
vokal: Waldjinah
Langgam Jawa
Tahun 1970
16,17 Okt (+)
18 Oktober (2 lagu)
19 Oktober (3 lagu)
20 Oktober (3 lagu)
Orkes Pengabdian
dbp. Alwi Hasan
voc: Achmad Vad’aq, Alwi Hasan, Djunaidah Sjafi’i, Juliatin, Musjrifah Thohir, M. Mahdi Hasan, dan Nur Mushobbichah
Melayu
Tahun 1970
21 Oktober (1 lagu)
24 Oktober (2 lagu)
25 Oktober (3 lagu)
26 Oktober (2 lagu)
Orkes El-Badr
dbp. Achmad Vad’aq
voc: Achmad Vad’aq, Latifah Achmad, Musjrifah Thohir, dan Waidah Achmad
Gambus
Tahun 1971
27 Januari (12 lagu)
28 Januari (9 lagu)
29 Januari (3 lagu)
Band Borobudur
dbp. Yessy Wenas
voc: Ida Royani, Jan Surjani, Mimiek, Mus (Mus K..Wirja?), Sylvia K, Nanny Triana, Nidya Bersaudara, Nunieng, dan Onny Surjono
Pop Indonesia
Sumber: Diolah dari Yampolsky, 1987:104-150
Keterangan: - dbp. (di bawah pimpinan)
                       - voc (penyanyi)
                       - (+) (rehearsal)
                       - lagu* (surat dalam kitab Al-Qur’an)


         Banyak sekali jenis musik daerah yang dipopulerkan oleh Lokananta dan RRI. Tentu saja ini hanya sekilas. Untuk masalah penyebutan nama genre, saya mengikuti istilah/sebutan yang digunakan ketika itu.
Sejak tahun 1961 sampai 1971, Lokananta berusaha menambah jenis produksi musik nasional, diantaranya adalah lagu kanak-kanak, pengajian Al-Qur’an, lagu gereja, melayu (hiburan), gambus, dan pop Indonesia. Sementara itu dalam produksi musik daerah, jenis klenengan (Jateng dan Jatim) dan langgam Jawa tampak mendominasi produksi, sedangkan sisanya diisi oleh rekaman musik Sunda dan Bali.
Menurut analisis saya, Lokananta dalam perkembangan musik daerah secara tidak langsung mendukung ide-ide baru dari beberapa tokoh musik pentatonis, khususnya corak musik tradisional Jawa yang lebih banyak diproduksi. Beberapa corak musik dengan eksperimental, banyaknya jumlah lagu, serta banyaknya jenis musik yang dipopulerkan oleh Lokananta melalui media rekaman piringan hitam, memberi banyak sumbangan terhadap permasalahan apresiasi pencarian bentuk awal representasi musik Indonesia. Seperti yang ditegaskan oleh Direktur Lokananta R. Oetojo Soemowidjojo di majalah Selecta (1961, No. 119:16): “...Peredaran tidak semata-mata didjual untuk mentjari keuntungan (Dharma, 1961:16).
Alasan didominasi oleh musik tradisional Jawa karena faktor geografis. Kesan tersebut menjadikan banyaknya publik penggemar berasal dari masyarakat sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bila dicermati, pada dasarnya suatu perusahaan memiliki tujuan untuk mencari suatu keuntungan. Saya mengamati bahwa ketika itu Lokananta telah melakukan upaya untuk banyak memproduksi musik tradisional luar Jawa, akan tetapi masalah finansial yang kurang mendukung penuh upaya tersebut serta menjadi alasan dari semua ini. Sehubungan hasil pengamatan, saya tidak bisa menyimpulkan sepenuhnya alasan tersebut, karena pasti ada alasan kuat lainnya mengapa Lokananta lebih banyak memproduksi musik daerah Jawa.
Maraknya industri rekaman dengan kaset membuat Lokananta kesulitan mengembangkan hasil produksinya. Tanggal 12 November 1971, Lokananta memperluas bidang usahanya dengan produksi rekaman kaset. Kemudian, tanggal 13 November 1972 pemerintah mengeluarkan izin resmi produksi dan peredaran kaset Lokananta yaitu Keputusan Menteri Penerangan R.I. No. 105/Kep/Menpen/1972. Dengan itu, Lokananta tidak lagi memproduksi piringan hitam yang digantikan dengan produksi rekaman kaset.

Keterangan : Beberapa contoh 'Art-Cover' piringan hitam milik Lokananta

Sekilas Tentang Lokananta sejak 1972-2011
             Selama akhir tahun 1960-an sampai awal tahun 1971, presentase produksi rekaman PH sedikit demi sedikit terus menurun tiap bulannya. Faktor penting yang menyebabkan penurunan presentase produksi tersebut dikarenakan pihak Lokananta yang tidak ikut memproduksi teknologi kaset. Secara pasti industri kaset perlahan-lahan menggeser industri piringan hitam, karena masyarakat lebih memilih membeli kaset ketimbang piringan hitam, karena harga kaset lebih murah dan harga alat pemutar kaset (tape) lebih terjangkau dibandingkan dengan alat pemutar piringan hitam (phonograph), dimana hanya orang-orang dengan ekonomi tertentu yang mampu membelinya.
            Sejak 1972 banyak rekaman piringan hitam yang kemudian dipindahkan ke bentuk kaset. Pada masa kaset, rekaman terus dilakukan meskipun secara garis besar didominasi oleh produksi musik hiburan daerah Jawa.
Tahun 1983, status Lokananta berubah menjadi BUMN di lingkungan Departemen Penerangan. Berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 13 tahun 1983 Lokananata mendapat hak penggandaan kaset-kaset video bersama TVRI dan PPFN. Lokananta juga mendapat izin untuk memasarkan kaset video, menjalin kerjasama dengan PT Eka Cipta Disc, melayani penggandaan video kaset karaoke, dan berupaya memproduksi compact disc.
         Persaingan antarlabel meramaikan industri musik Indonesia. Pada sisi lain, kaset bajakan makin banyak dan diminati banyak orang. Sehubungan itu, Lokananta tidak mampu menahan serbuan kaset bajakan di pasaran. Sebab itu, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2001, [PN] Lokananta dilikuidasi dan ditetapkan sebagai Penambahan Penyertaan Modal Perum PNRI, maka sejak tahun 2004 Lokananta menjadi Perum PNRI Cabang Surakarta dengan cakupan tugas sebagai salah satu pusat multimedia; rekaman CD; remastering; pengembangan percetakan serta jasa grafika; dan juga  kegiatan di dunia penyiaran (broadcasting)
Sampai tahun 2011 pihak Lokananta sedang berupaya untuk men-digital-kan rekaman-rekaman berbentuk piringan hitam dan kaset ke dalam bentuk VCD (mp3). Puluhan ribu master rekaman piringan hitam masih disimpan di Lokananta.
Beberapa ruangan kini masih digunakan, dengan artian Lokananta masih berjalan. Begitupun studio "besar" Lokananta masih berjalan. Sudut lain, ada dua ruangan dijadikan sebagai museum atau tempat penyimpanan tertata rapih yang berisi piringan hitam label Lokananta dan barang-barang yang berkaitan dengan rekaman di tahun 50 dan 60-an. 
Saya membatasi sampai tahun 2011 karena sejak tahun tersebut saya belum sempat untuk menggali lebih dalam tentang perkembangan Lokananta.


Album Entit (Waldjinah) dalam tiga masa
                 

Catatan: Untuk album jenis piringan hitam, saya tidak mengetahui pasti kapan album dengan seri BRI 014 tersebut diproduksi pertama kali, tetapi hasil olahan saya dari katalog rekaman Lokananta yang dibuat Yampolsky (1987: 176) lagu-lagu yang ada pada album “Entit” adalah kumpulan dari tiga album rekaman milik Orkes Bintang Surakarta di bawah pimpinan Waldjinah, yaitu rekaman Oktober 1970, Juni 1971, dan Juli 1971. 


Studio Lokananta (dari sudut I)

Studio Lokananta (dari sudut II)


  

                                                                             Ruang Remastering


Museum Digital Lokananta





Tempat Penyimpanan Piringan Hitam






*Sumber Tulisan : 
Agusta, Ilyas. 2011. Lokananta Vinyl Record: Its Influences Towards the Development of Indonesian Music, 1956-1972. Jatinangor.
http://ilyas-agusta.blogspot.com/2011/09/lokananta.html
http://ilyas-agusta.blogspot.com/2013/10/indravox.html

tml