Tuesday, October 22, 2013

Apa Itu Musik indonesia ?

Oleh: Ilyas Agusta

APA ITU MUSIK INDONESIA ?


Suatu hari di salah satu perpustakaan di Bandung, saya membaca sebuah majalah musik yang salah satu halamannya berisi sebuah artikel dengan judul “Keroncong adalah musik asli Indonesia”. Selesai membaca tulisan tersebut, saya langsung teringat beberapa hari sebelumnya saya menemukan artikel yang isinya menjelaskan bahwa musik dangdut adalah musik asli Indonesia. Kemudian saya membaca buku lainnya, dimana isinya terdapat perdebatan tentang keroncong sebagai musik asli Indonesia, serta lagu-lagu pop ataupun kata pop dengan maksud lagu populer. Halaman-halaman berikutnya malah berisi tentang perdebatan tentang musik nasional, bagaimanakah rupa atau bentuk musik nasional, atau seperti apakah musik Indonesia. Jadi, apa itu musik Indonesia?


Sedikit Menengok Kebelakang

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia terjadi perubahan besar dalam tatanan kehidupan sosial budaya bangsa Indonesia. Ketika itu muncul gagasan dari beberapa cendekiawan maupun seniman mengenai kultur musik Indonesia. Gagasan mengenai budaya musik tersebut berasal dari ide Ki Hadjar Dewantara tentang budaya nasional Indonesia; budaya nasional adalah puncak-puncak dari kebudayaan daerah (Parto, 1992:th). Gagasan itu tidak lain mengenai permasalahan mencari bentuk representasi musik sebagai musik nasional (Raden, 1997:th)

Tahun 1950-an, di Surakarta dan Bandung diadakan suatu kongres budaya yang isinya menyinggung tentang bentuk musik Indonesia. Hal yang disepakati bersama ketika itu adalah menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa dalam musik nasional. Setelah disepakati demikian, muncul pertanyaan lainnya yaitu apakah musik yang mengiringnya yang ternyata jelas-jelas musik berasal dari luar dapat dikatakan sebagai musik nasional?


Mencari Jawaban Memuaskan

Tahun 1950-an sampai 1970-an adalah tahun-tahun yang menentukan bagi perkembangan musik Indonesia (Harjana, 2001:th). Musik pentatonis dan diatonis sebagai akibat pengaruh atau benturan dari budaya luar. Bisa saja mengatakan bahwa identitas musik Indonesia makin terlihat di tahun 1970-an, tapi terkadang hingga sekarang masih terjadi perdebatan yang tujuannya hanya mencari jawaban memuaskan tentang musik apa yang benar-benar dikatakan sebagai musik Indonesia atau apa saja musik asli Indonesia. Tidak sedikit orang yang mempermasalahkan hal tersebut hanya untuk kepuasan semata.

Saya menemukan jawaban paling singkat dari bentuk pertanyaan diatas yaitu musik Indonesia adalah musik gado-gado (Sylado, 1992: 235-239). Saya sependapat dengan apa yang dikatakan oleh Remy Sylado bahwa musik Indonesia adalah musik gado-gado. Terdengar seperti sebuah lelucon, tapi begitulah jawaban yang lebih pantas dan terkesan enak mendengar kata tersebut. Saya sempat berpikir kalau musik Indonesia adalah musik es campur atau rujak, tapi terasa kurang enak mengucap atau mendengarnya.
http://ilyas-agusta.blogspot.com/2013/10/indravox.html

Indravox

Oleh: Ilyas Agusta

Indravox ?


Tidak banyak masyarakat sekarang yang pernah mendengar tentang label Indravox. Saya sendiri masih menyimpan banyak pertanyaan tentangnya. Tahun 2011 dengan niat hanya 'iseng doang', saya mencari data tertulis yang berkaitan dengan Indravox dan berusaha bertemu dengan beberapa pihak yang mungkin mengerti tentang label Indravox. Hal yang mengecewakan adalah ketika saya mengirim beberapa pesan di salah satu situs jejaring sosial kepada beberapa pihak yang saya yakini paham tentang Indravox, tapi tidak mereka balas. Sehingga timbul suatu kesan yang ganjil tentang Indravox. Dalam hal ini, mari kita saling berbagi informasi yang tak lain untuk menambah pengetahuan.




Sekilas tentang Indravox
Philip Yampolsky (1987:35) mengatakan bahwa label Indravox pada RRI muncul sekitar awal 1950-an. Yampolsky sendiri dalam penelitiannya di Surakarta tidak menemukan tahun yang pasti tentang lahirnya Indravox. Desember 1955 di Surakarta, pabrik piring hitam (Lokananta) ketika belum diresmikan sudah berhasil mencetak piringan hitam yang sempurna dan diberi label Indravox, yakni sebagai label rekaman pertama di bawah kendali RRI.
Tahun 1958, pihak Lokananta tidak menggunakan Indravox sebagai label, akan tetapi menggunakan nama ‘Lokananta’ itu sendiri sebagai sebuah label. Pihak Lokananta sering mengatakan hal tersebut dengan istilah penggantian.
Beberapa sumber menjelaskan bahwa hingga tahun 1958 Indravox masih tetap difungsikan. Saya rasa (kemungkinan) Indravox hanya bertahan hingga tahun 1959. Alasan saya karena melihat dari beberapa piringan hitam Indravox yang saya lihat diantaranya dengan format 10”, 78 rpm yang mana format tersebut masih sering digunakan RRI sebelum tahun 1960 dan jarang digunakan di tahun 1960-an. Selain itu, saya tidak pernah melihat Indravox dengan format 33 1/3 rpm (long play) sebagai format yang sering digunakan RRI sejak tahun 1959. Apabila ternyata ditemukan Indravox dengan format 33 1/3 rpm, kemungkinan Indravox sendiri masih bertahan di sekitar tahun 1960-an.
Philip Yampolsky menjelaskan bahwa label Indravox dan label Lokananta dikendalikan oleh RRI dan keduanya secara administratif terpisah. Ketika penggantian, Indravox tampak hilang atau lenyap dengan alasan yang kurang jelas (Yampolsky, 1987:1).


Asal Kata Indravox
            Pertengahan 1950-an, R. Maladi yang ketika itu sebagai Direktur Jenderal RRI Jakarta menemui Presiden Soekarno, memberikan usulan kata-Indravox sebagai nama pabrik piring hitam di Surakarta. Usulan tersebut tidak disetujui oleh Presiden Soekarno. Kemudian pada tahun 1956, R. Maladi memberi nama ‘Lokananta’ untuk pabrik piring hitam, lalu usulan tersebut diterima oleh Presiden Soekarno. Hal itu menimbulkan suatu pertanyaan tentang apa alasan Presiden Soekarno tidak setuju dengan nama ‘Indravox’. Seperti yang diterangkan pada tahun 2010 oleh Imam Muhadi sebagai mantan Staf Direktur Utama dan Humas Lokananta kepada majalah Rolling Stones Indonesia, “Sayangnya nama Indra Vox ini ditolak oleh Presiden Soekarno, soalnya menurut beliau ndak jelas” (Rolling Stones Indonesia, No.61 : 2010). 
Beberapa sumber mengatakan bahwa singkatan Indravox adalah indra singkatan dari Indonesia Raya sedangkan vox merupakan bahasa latin yang artinya suara(?). Saya mendapatkan sumber yang menarik, dikatakan bahwa Indravox memiliki arti Indonesia Raya Voice. Kata voice diambil dari kata voice yang berasal dari VOA (Voice of America). Pada saat itu radio VOA dikenal hampir seluruh dunia yang siarannya dapat ditangkap di Indonesia dengan sangat bagus (Isnu Edhi Wijaya dalam multiply.com/isnu’s site: 2010, diakses 8 Januari 2010).
Mendengar kata VOA bila dihubungkan dengan ketidak-jelasan keberadaan label Indravox di akhir 1950-an, kemungkinan besar berhubungan dengan idealis Presiden Soekarno yang ketika itu pernah menyatakan anti-budaya Amerika, dimana ketika itu segala sesuatu yang berbau budaya ke-Amerikaan harus dijauhkan. Jadi, apakah lenyapnya Indravox berhubungan dengan hal tersebut?


Rekaman-Rekaman
            September 1986, Ernst Heins menceritakan kepada Yampolsky (1987:35) bahwa seorang ethnomusicologist Bernard Ijzerdraat mendatangi Indonesia di tahun 1954-1955, dia mengisyaratkan tentang genre yang pernah direkam Indravox dengan format 78 rpm, diantaranya musik tradisi daerah Bali, Sumatera, Sulawesi, Timor, dan Jawa Tengah. Ketika itu, Ijzerdraat hanya menyebutkan satu genre musik tradisi dari daerah Jawa Tengah yaitu Santiswaran.
Bila diperhatikan apa yang dilakukan Lokananta merupakan kebalikan dari Indravox, dimana musik tradisi Jawa Tengah dan Jawa Timur sangat mendominasi. Beberapa musik tradisi dari informasi Ijzerdraat diantaranya:
§     Bali                :  Angklung Gegrantangan(?), Janger, Mocapat, Lagu Kanak-Kanak,
                                               Joged Bumbung, Semar Pegulingan, Genggong, Gender Wayang,
                                               Orkes Suling.
§     Sumatera      :  Gambang Sosa, Gondang Sabangunan, Gondang Hasapi, Gondang,
                               Tale, Kesenian Pesisir, Orkes Melayu Modern, Saluang, Nalam,
                                Indang, Randai, Puput, Talempong.
§     Sulawesi        :  Maengket, Kulintang, Orkes Makasar.
§     Timor             :  Sasando.
§     Jawa Tengah:  Santiswaran.

Saya sendiri masih penasaran kira-kira apa saja yang pernah direkam RRI ketika masih menggunakan label Indravox. Tanggal 6 Juli 2010, saya mendatangi RRI Bandung, ketika itu diruang arsip rekaman saya tidak menemukan satupun piringan hitam berlabel Indravox, mungkin disimpan di suatu tempat khusus. Beberapa hari kemudian, saya menemukan informasi bahwa RRI Surakarta lebih tahu akan rekaman piringan hitam RRI. 'Yah', sampai sekarang saya belum sempat berkunjung ke RRI Surakarta, 'hehe'.




Benarkah ?
Saya menemukan beberapa situs di internet yang menawarkan download gratis lagu-lagu produksi Lokananta. Suatu sudut, disk yang dikomersilkan Lokananta--tidak terdapat keterangan transcription di dalamnya, karena memang untuk komersil. Saya pun tidak kaget akan fitur download gratis tersebut, yang membuat saya penasaran adalah ketika melihat ada beberapa lagu Lokananta untuk di-download dengan keterangan disk “Transcription Service Radio Republik Indonesia”. Tanda tersebut untuk menjelaskan bahwa piringan-piringan hitam tersebut hanya digunakan untuk transkripsi, bukan untuk komersil atau dijual-belikan. Jadi, darimanakah mereka mendapatkan piringan-piringan hitam Lokananta yang khusus digunakan untuk transkripsi atau kepentingan siaran radio RRI ketika itu?
Hal yang sama dengan di atas adalah adanya koleksi piring hitam berlabel Indravox di Belanda. Salah satu art-work pada piringan hitam berlabel Indravox terdapat keterangan not for sale. Saya rasa bukan hanya di Belanda saja. Jadi, mengapa kepingan-kepingan not for sale tersebut bisa menyebar?
Hal lainnya adalah isu (saya tidak bisa bisa menyebutkan sumbernya) tentang perekaman lagu daerah ataupun musik tradisi sekitar tahun 1970 dan 1980-an di beberapa wilayah Indonesia yang dilakukan oleh beberapa ‘orang luar’ dan saya setengah yakin RRI maupun Lokananta tidak mengetahui tentang hal ini. Sudut lain, RRI dan Lokananta ditahun-tahun tersebut masih memiliki salah satu beban yakni suatu upaya menjaga dan melestarikan musik tradisi. Jadi, mereka (orang luar) mengajak masyarakat di beberapa daerah pedalaman Indonesia agar memainkan musik tradisi daerahnya yang kemudian direkam dan mereka pun hanya diberi bayaran yang sangat sedikit. Saya tidak tahu apakah hal ini termasuk kegiatan yang tidak baik atau sah-sah saja dan saya tidak tahu apa tujuan mereka sebenarnya, yang jelas sih berbau bisnis atau uang. Akan tetapi, bukankah musik tradisi merupakan aset negara? 'hehe entahlah'.
http://ilyas-agusta.blogspot.com/2013/10/apa-itu-musik-indonesia.html